Kemon.id, Yogyakarta – Menjelang peringatan boyongan kedaton, makam para Sultan Yogyakarta kembali ramai diziarahi. Dari Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga Sultan Hamengku Buwono IX, jejak kepemimpinan mereka seolah hadir kembali dalam ingatan kolektif masyarakat. Ziarah ini tidak hanya menjadi tradisi, melainkan ruang refleksi yang menyuarakan pesan damai dan meneguhkan demokrasi tanpa kekerasan.
Ziarah sebagai Ruang Ingatan Kolektif
Di bawah rindang pepohonan makam para Sultan, masyarakat menundukkan kepala dalam hening. Kehadiran mereka adalah bentuk penghormatan sekaligus kontemplasi: bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal politik, melainkan soal merawat keseimbangan hidup. Dalam perspektif ini ziarah dapat dipahami sebagai praktik ingatan kolektif. Makam tidak dipandang sebagai batas kematian, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, sekaligus membuka jalan bagi masa depan.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dikenang sebagai pendiri Kesultanan Yogyakarta yang mewariskan nilai ketertiban dan tata negara. Hamengku Buwono III dengan kebijakan welas asihnya, Hamengku Buwono VII yang mendorong modernisasi, hingga Hamengku Buwono IX yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan, semuanya menyampaikan pesan yang sama: kepemimpinan adalah pengabdian, bukan dominasi.

Boyongan Kedaton: Simbol Keterhubungan
Tradisi boyongan kedaton, yang digelar untuk memperingati perpindahan pusat pemerintahan ke Keraton Yogyakarta, sarat dengan makna simbolis. Ia bukan hanya peristiwa sejarah, melainkan juga simbol keterhubungan antara kerajaan dan rakyat, antara leluhur dan generasi penerus. Dalam perspektif Jawa, semua peristiwa ini tidak dibaca secara terpisah, melainkan dalam kesatuan kosmos: manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Ziarah yang mengiringi peringatan boyongan kedaton menjadi momen untuk kembali merenungkan nilai-nilai itu. Nilai damai, nilai welas asih, dan nilai nguwongke uwong— memanusiakan manusia — yang diwariskan para Sultan, kini kembali dipanggil untuk menghadapi tantangan zaman modern.
Pesan Damai yang Melampaui Waktu
Dalam suasana hening ziarah, pesan damai para Sultan terasa melintasi sekat waktu. Sultan Agung mengajarkan kedaulatan yang berakar pada kebudayaan, Hamengku Buwono I meneguhkan kearifan tata negara, dan Hamengku Buwono IX mencontohkan kepemimpinan egaliter yang tidak segan hidup bersahaja bersama rakyatnya. Semua itu menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa welas asih hanyalah kekosongan.
Tradisi ziarah ini meneguhkan pandangan non-dualistik: tidak ada pertentangan tajam antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas. Keduanya menyatu dalam dialektika yang saling menghidupi. Warisan para Sultan bukan untuk diulang secara literal, melainkan untuk dipahami esensinya: membangun perdamaian tanpa kekerasan, menegakkan demokrasi yang berakar pada martabat manusia.
Merawat Demokrasi, Menjaga Kedamaian
Peringatan boyongan kedaton tahun ini memberi pesan yang kuat: bahwa demokrasi sejati lahir bukan dari perebutan kekuasaan, melainkan dari kesadaran untuk saling menghormati dan merawat kehidupan bersama. Pesan inilah yang menjadikan ziarah ke makam para Sultan bukan sekadar ritual, melainkan ruang refleksi moral dan spiritual.
Dengan meniti pusaka leluhur, masyarakat diajak untuk kembali menghidupkan nilai-nilai damai dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada akhirnya, pusaka sejati bukanlah keris atau mahkota, melainkan kesadaran welas asih dan kebijaksanaan yang diwariskan lintas generasi.
Penulis : Agus Budi Rachmanto
Pengamat Sosial Budaya dan Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY