BeritaEducationUtamaViral

Prof. Jaka Triyana Tegaskan Laut Adalah Ruang Hidup, Bukan Arena Perebutan Kuasa

Kemon.id, Yogyakarta, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan lebih dari 17 ribu pulau dan laut yang luasnya mencapai 6,4 juta km², kita tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa masa depan bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola laut. Namun, di balik keindahan dan kekayaan laut, ada tantangan besar yang perlu diwaspadai: konflik bersenjata maritim.

Hal inilah yang menjadi sorotan Prof. Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A., dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Hak Asasi Manusia Internasional di Fakultas Hukum UGM. Dengan tema “Tantangan Indonesia terhadap Konflik Bersenjata di Laut”, Prof. Jaka mengajak kita melihat laut bukan hanya sebagai jalur perdagangan dan perebutan geopolitik, tetapi juga sebagai ruang hidup yang harus dijaga demi kemanusiaan dan keberlanjutan.

Laut, HAM, dan Lingkungan

Dalam pidatonya, Prof. Jaka menekankan bahwa konflik di laut bukan hanya soal kapal perang atau klaim teritorial. Setiap kali konflik pecah, ada harga mahal yang harus dibayar: korban sipil, rusaknya ekosistem laut, dan terganggunya kehidupan nelayan. Inilah yang membuat hukum internasional—baik hukum laut (UNCLOS) maupun hukum humaniter (Law of Naval Warfare), harus bekerja sama melindungi manusia sekaligus alam.

Foto: Istimewa

Namun, realitanya tidak mudah. Negara-negara besar sering menggunakan alasan keamanan untuk melakukan operasi militer di laut, bahkan di kawasan yang rapuh secara ekologi. Akibatnya, prinsip perlindungan lingkungan sering diabaikan. Padahal, manual San Remo 1994 sudah jelas menegaskan bahwa pihak-pihak yang berkonflik harus menghormati kawasan laut dengan ekosistem sensitif.

Belajar dari Sri Lanka

Menariknya, Prof. Jaka membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka. Negara kepulauan kecil itu sudah lebih maju dalam hal regulasi maritim, misalnya dengan Piracy Act dan Coast Guard Act. Sri Lanka juga aktif dalam kerja sama internasional untuk mengatasi ancaman laut non-tradisional seperti pembajakan.

Indonesia? Kita masih menghadapi kekosongan hukum. Belum ada aturan jelas soal bagaimana menghadapi konflik bersenjata non-internasional di laut. Akibatnya, sulit membedakan mana kejahatan maritim biasa, mana konflik bersenjata. Kekosongan ini bisa berisiko: pelanggaran HAM, kriminalisasi salah sasaran, hingga rusaknya laut.

Indonesia Harus Jadi Pelopor

Dalam refleksinya, Prof. Jaka mendorong Indonesia untuk tidak hanya reaktif menghadapi geopolitik, tetapi proaktif memimpin tata kelola maritim global. Ada tiga hal yang perlu diperkuat:

1. Membuat regulasi domestik yang jelas soal hukum laut, hukum humaniter, dan HAM.

2. Memperkuat lembaga maritim nasional seperti Bakamla agar berfungsi layaknya Coast Guard.

3. Aktif dalam diplomasi internasional untuk membentuk norma baru, terutama menghadapi ancaman modern seperti militerisasi berbasis teknologi AI.

Menjadikan Laut Ruang Peradaban

Pidato ini adalah pengingat bahwa laut bukan hanya arena konflik atau rebutan kuasa, tapi ruang hidup bersama. Di laut ada kehidupan nelayan, ada ekosistem yang menopang pangan, ada masa depan generasi mendatang.

Sebagaimana ditegaskan Prof. Jaka, hukum internasional harus menjadi alat nyata untuk melindungi manusia dan lingkungan. Indonesia, dengan posisi strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik, punya peluang besar menjadi penggerak utama tata kelola laut dunia.

Dengan kata lain, laut harus kita jaga sebagai ruang peradaban, bukan medan perang (JJ)

What's your reaction?

Related Posts

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *