Jakarta, kemon.id — Isu ekoteologi menjadi sorotan utama dalam Dialog Kerukunan Lintas Umat Beragama yang digelar Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di Aula H.M. Rasjidi, Kementerian Agama, Jakarta, Sabtu (6/12/2025). Acara ini diikuti lebih dari 350 peserta, termasuk pejabat Kemenag, akademisi, dan perwakilan lintas agama.
Para tokoh lintas agama menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah ajaran setiap agama dan menjadi tanggung jawab moral serta spiritual bersama. Sekretaris Umum PHDI, I Ketut Budiasa, menekankan prinsip Tri Hita Karana yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. “Apapun agama kita, saat menebang hutan atau merusak lingkungan, hujan membawa banjir dan kemarau membawa kekeringan. Alam itu netral,” ujar Budiasa.
Sementara Ketua Umum PERMABUDHI, Philip Kuntjoro Widjaja, menekankan cinta kasih universal dalam ajaran Buddha juga berlaku pada alam. “Kalau kita merusak bumi, itu sama saja merusak rumah kita sendiri. Semua makhluk berhak hidup di bumi yang sehat,” katanya.
Penasehat Ahli Menteri Agama, Amany Lubis, menyoroti peran perempuan dalam ekoteologi. Perempuan berperan penting dalam menjaga ketahanan keluarga, pangan, dan keberlanjutan hidup. “Perempuan harus diberdayakan agar ketahanan keluarga dan pangan terjaga. Ini bagian dari kesadaran ekologis dan spiritual bangsa,” jelasnya.
Dialog ini menegaskan bahwa kerusakan ekologis berdampak langsung pada kehidupan manusia, tanpa membedakan agama atau identitas sosial. Bencana banjir yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi pengingat nyata bahwa ekoteologi bukan sekadar konsep, melainkan fondasi moral untuk pembangunan berkelanjutan dan kesadaran lingkungan di Indonesia.
Jakarta, InfoPublik — Isu ekoteologi menjadi sorotan utama dalam Dialog Kerukunan Lintas Umat Beragama yang digelar Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di Aula H.M. Rasjidi, Kementerian Agama, Jakarta, Sabtu (6/12/2025). Acara ini diikuti lebih dari 350 peserta, termasuk pejabat Kemenag, akademisi, dan perwakilan lintas agama.
Para tokoh lintas agama menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah ajaran setiap agama dan menjadi tanggung jawab moral serta spiritual bersama. Sekretaris Umum PHDI, I Ketut Budiasa, menekankan prinsip Tri Hita Karana yang mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. “Apapun agama kita, saat menebang hutan atau merusak lingkungan, hujan membawa banjir dan kemarau membawa kekeringan. Alam itu netral,” ujar Budiasa.
Sementara Ketua Umum PERMABUDHI, Philip Kuntjoro Widjaja, menekankan cinta kasih universal dalam ajaran Buddha juga berlaku pada alam. “Kalau kita merusak bumi, itu sama saja merusak rumah kita sendiri. Semua makhluk berhak hidup di bumi yang sehat,” katanya.
Penasehat Ahli Menteri Agama, Amany Lubis, menyoroti peran perempuan dalam ekoteologi. Perempuan berperan penting dalam menjaga ketahanan keluarga, pangan, dan keberlanjutan hidup. “Perempuan harus diberdayakan agar ketahanan keluarga dan pangan terjaga. Ini bagian dari kesadaran ekologis dan spiritual bangsa,” jelasnya.
Dialog ini menegaskan bahwa kerusakan ekologis berdampak langsung pada kehidupan manusia, tanpa membedakan agama atau identitas sosial. Bencana banjir yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi pengingat nyata bahwa ekoteologi bukan sekadar konsep, melainkan fondasi moral untuk pembangunan berkelanjutan dan kesadaran lingkungan di Indonesia.
Sumber : kemenag.go.id
















