Kemon.id, Yogyakarta – Siapa sangka, Indonesia yang bukan negara terkaya di dunia justru menempati posisi teratas dalam kesejahteraan global. Studi Harvard menunjukkan, kebahagiaan kolektif dan spiritualitas menyingkirkan materi sebagai tolok ukur utama kualitas hidup.
Studi The Global Flourishing Study Universitas Harvard menempatkan Indonesia sebagai negara paling sejahtera di dunia. Temuan ini mengguncang asumsi klasik tentang kesejahteraan yang identik dengan kekayaan materiil. Artikel ini merefleksikan faktor-faktor kunci kesejahteraan di Indonesia, menganalisis keterbatasan paradigma negara maju, serta menawarkan wacana baru tentang kesejahteraan yang melampaui dualisme material vs spiritual, tradisi vs modernitas, maupun maju vs tertinggal.
Menyingkap Paradigma Baru Kesejahteraan
Selama puluhan tahun, kesejahteraan dipersepsikan sebagai produk pembangunan ekonomi, indikator kesehatan, dan umur panjang. Namun, hasil studi Harvard menggeser orientasi tersebut: kesejahteraan ternyata lebih ditentukan oleh relasi sosial yang bermakna, rasa tujuan hidup, dan spiritualitas yang mengakar.
Indonesia, dengan segala keterbatasan materiil, justru unggul karena dimensi non-material yang selama ini dipandang second class dalam teori pembangunan: gotong royong, kepedulian antarwarga, religiositas, serta kehangatan komunitas.
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pernah menegaskan bahwa “development is freedom”, pembangunan adalah kebebasan untuk hidup bermakna, bukan sekadar peningkatan pendapatan. Temuan Harvard ini menjadi bukti konkret pandangan tersebut.
Kesejahteraan dalam Bingkai Sosial dan Spiritual
1. Hubungan Sosial yang Kuat
Ikatan komunal masyarakat Indonesia bukan sekadar tradisi, melainkan infrastruktur sosial yang menopang resiliensi kolektif. Dalam dunia yang makin individualistik, gotong royong adalah future capital.
2. Makna Hidup dan Spiritualitas
Religiusitas masyarakat Indonesia memberi arah hidup yang melampaui dimensi material. Spiritualitas di sini bukan sekadar ritual, tetapi mekanisme psikososial yang meneguhkan harapan dan resiliensi. Viktor Frankl, psikolog eksistensial, pernah menulis: “He who has a why to live can bear almost any how.” Indonesia membuktikan relevansi kalimat itu di tingkat sosial.
3. Karakter Pro-Sosial
Sifat peduli terhadap sesama membangun ekosistem kesejahteraan yang tidak bergantung sepenuhnya pada negara. Karakter ini menutup celah struktural yang sering ditinggalkan oleh sistem kesejahteraan formal.
Mengapa Negara Maju Tertinggal?
Negara-negara maju membayar harga mahal dari keberhasilan ekonominya. Fokus obsesif pada produktivitas melahirkan paradoks: kekayaan melimpah, namun kohesi sosial rapuh.
Zygmunt Bauman dalam konsep “liquid modernity” menekankan bahwa modernitas cair telah melarutkan stabilitas sosial, menghasilkan kesepian kolektif dan rapuhnya ikatan komunitas. Fenomena ini terlihat jelas di Amerika Serikat dan Jepang: kaya materi, miskin relasi.
Melampaui Dualisme: Menuju Sintesis Kesejahteraan
Kehidupan tidak bisa direduksi pada dikotomi kaya–miskin atau tradisi–modernitas. Temuan Harvard menegaskan bahwa kesejahteraan hadir ketika materialitas dan spiritualitas berdialog, bukan saling meniadakan.
Fritjof Capra, dalam The Hidden Connections, mengingatkan bahwa sistem kehidupan hanya berkelanjutan ketika relasi dan makna dihargai sama pentingnya dengan produksi. Dari perspektif ini, Indonesia menjadi contoh bagaimana spiritualitas dan sosialitas adalah energi kehidupan yang menyeimbangkan materialitas.
Namun refleksi kritis juga perlu: spiritualitas tanpa pemerataan ekonomi berpotensi melanggengkan ketimpangan. Tantangannya bukan memilih “materi atau makna”, tetapi menciptakan ekologi kehidupan yang menyeimbangkan keduanya.
Implikasi Global: Dari Indonesia untuk Dunia
Temuan ini membawa pesan provokatif: mungkin dunia justru perlu belajar dari Indonesia, bukan sebaliknya. Di tengah loneliness epidemic yang kini diakui WHO sebagai ancaman global, semangat gotong royong adalah soft power Indonesia untuk menawarkan model kesejahteraan yang holistik.
Namun, refleksi ini juga mengingatkan Indonesia sendiri agar tidak kehilangan ruh sosialnya dalam arus kapitalisme. Pembangunan ekonomi harus berjalan beriringan dengan perawatan modal sosial dan spiritual yang telah menjadi sumber keunggulan bangsa.
Ungkapan Penutup
Kesejahteraan sejati adalah dialektika antara “punya” dan “bermakna”. Indonesia telah membuktikan bahwa kualitas hidup tidak selalu sejajar dengan ukuran PDB, melainkan dengan kedalaman relasi dan keluhuran tujuan. Dari titik ini, kita diundang untuk melampaui paradigma lama dan membangun peradaban yang tidak lagi terjebak dalam dualisme material vs spiritual, tetapi menyatukan keduanya dalam harmoni yang memerdekakan.
Seperti kata filsuf Albert Schweitzer: “Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success.” Dan Indonesia telah menunjukkan, kebahagiaan itu lahir dari kebersamaan, kepedulian, dan makna hidup yang tak ternilai.
Ditulis Oleh: Agus Budi Rachmanto, Sekretaris Umum DPD PUTRI DIY