BeritaUmumUtama

Interregnum Prancis: Jalanan Jadi Laboratorium Solidaritas dan Keadilan

Kemon.id, – Di jalan-jalan Prancis, ribuan orang menutup akses, menghentikan arus transportasi, melumpuhkan denyut ekonomi kota. Slogan yang terdengar keras adalah satu: “Blokir Semua”. Namun, lebih dari sekadar protes atas kebijakan pemerintah, aksi ini menjadi cermin kegelisahan kolektif, tentang masa depan, tentang representasi, bahkan tentang makna demokrasi itu sendiri.

Prancis adalah negeri dengan warisan panjang revolusi. Namun setiap kali rakyat turun ke jalan, pertanyaan reflektif yang muncul selalu sama: apakah ini tanda lahirnya tatanan baru, atau sekadar lingkaran protes yang berulang?

1. Krisis Legitimasi dan Kehampaan Representasi

Teori politik Jürgen Habermas tentang krisis legitimasi membantu kita membaca gejolak ini. Di mata banyak warga, institusi demokrasi tidak lagi mampu merepresentasikan aspirasi. Parlemen dianggap jauh, elit politik semakin terasing, dan kebijakan publik kerap terasa melayani logika kapitalisme global dibanding kebutuhan rakyat sehari-hari.

Di sini, blokade jalan dan lumpuhnya kota menjadi bukan hanya strategi, tetapi simbol: rakyat mengambil kembali ruang publik sebagai forum deliberasi alternatif. Namun refleksinya, apakah forum jalanan mampu menggantikan institusi formal? Atau justru mempercepat runtuhnya kepercayaan sosial?

2. Blokade sebagai Eksperimen Demokrasi Radikal

Jika menggunakan kerangka Manuel Castells tentang network society, aksi ini bisa dibaca sebagai eksperimen demokrasi radikal. Gerakan massa tidak lagi bergantung pada serikat formal atau partai, tetapi tumbuh dari jejaring digital dan solidaritas spontan.

Di sisi lain, blokade juga dapat dipahami sebagai upaya rakyat “menghentikan waktu.” Seakan-akan dengan melumpuhkan mobilitas kota, mereka menunda laju kapitalisme yang terlalu cepat menggerus ruang sosial. Pertanyaan kontemplatifnya: apakah jeda ini hanya sekejap, atau bisa melahirkan visi alternatif tentang kehidupan bersama?

3. Antara Revolusi Baru dan Kekacauan Tanpa Ujung

Antonio Gramsci menyebut masa krisis sebagai interregnum, masa ketika yang lama belum mati, dan yang baru belum lahir. Prancis kini berada dalam interregnum itu. Blokade bisa menjadi awal lahirnya tatanan politik baru, tetapi bisa pula membuka ruang bagi populisme sayap kanan yang menawarkan kepastian semu di tengah kekacauan.

Di sinilah sisi provokatifnya: apakah rakyat sedang menyiapkan Revolusi Prancis abad ke-21, atau sekadar mengundang regresi politik menuju otoritarianisme?

4. Melampaui Dualitas Lama

Michel Foucault mengingatkan kita bahwa kekuasaan tidak hanya ada di tangan negara, melainkan menyebar dalam relasi sehari-hari. Dengan demikian, “Blokir Semua” bukan sekadar rakyat melawan negara, tetapi rakyat merebut kembali hak mengatur ritme kota, ruang, dan mobilitas.

Refleksi yang lebih dalam mengajak kita melampaui dualitas lama: rakyat versus negara, kapitalisme versus sosialisme. Masa depan Prancis mungkin tidak lagi ditentukan oleh ideologi klasik, tetapi oleh keberanian menciptakan narasi baru: solidaritas ekologis, distribusi keadilan, dan redefinisi tentang apa arti kemajuan.

5. Penutup: Pertaruhan Masa Depan

Aksi “Blokir Semua” bukan hanya perlawanan, tetapi pertaruhan masa depan Prancis. Ia membuka ruang refleksi: apakah Prancis akan kembali menjadi pionir demokrasi partisipatif yang segar, atau tenggelam dalam spiral protes dan kelelahan sosial?

Pertanyaan mendasarnya tetap menggantung:
Apakah blokade ini tanda kelahiran, atau sekadar jeritan terakhir sebelum runtuhnya imajinasi politik?

Mungkin di situlah kekuatan kontemplatifnya, bahwa di tengah jalan yang terblokir, ada ruang kosong yang menunggu diisi: ruang untuk menata ulang arah bangsa.

Penulis : Agus Budi Rachmanto, M.Sc
Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Member of Asia Pacific Network of Science & Technology Centres (ASPAC)

What's your reaction?

Related Posts

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *