Kemon.id, Yogyakarta – Di tengah arus wisata global yang semakin kompetitif, pengelolaan destinasi tak lagi cukup hanya mengandalkan keindahan alam semata. Dibutuhkan pendekatan yang lebih dalam dan menyeluruh: bagaimana sebuah tempat bisa menyentuh hati, menghidupkan pengalaman, dan meninggalkan kesan bermakna bagi siapa pun yang datang. Inilah semangat baru dalam manajemen bisnis dan pemasaran destinasi – merancang wisata yang mengalirkan energi, mencerminkan karakter lokal, dan menyampaikan makna kehidupan.
Semangat ini mewarnai rangkaian forum pelatihan dan diskusi strategis yang digelar di Pendopo Desa Wisata Lopati, Kalurahan Trimurti, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul. Bertempat di jantung kawasan dengan kearifan lokal yang kuat, kegiatan ini menghadirkan pelaku pariwisata, akademisi, dan komunitas kreatif dari berbagai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Diskusi tidak hanya membahas soal promosi digital atau strategi branding semata, tetapi menyelami lebih dalam inti dari sebuah destinasi: getaran emosional yang dirasakan wisatawan, nilai-nilai budaya yang dikemas menjadi pengalaman otentik, serta potensi transformasi batin yang bisa dialami oleh setiap pengunjung.
“Wisata bukan sekadar datang dan melihat, tetapi mengalami dan memahami,” ujar salah satu narasumber dalam sesi diskusi terbuka. Pendekatan ini sangat sejalan dengan tren transformational tourism, yang makin diminati wisatawan global saat ini: wisata yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga mencerahkan dan menyadarkan.
Narasumber utama sekaligus Ketua Bidang Objek Daya Tarik Wisata GIPI DIY, Agus Budi Rahman, menegaskan bahwa saat ini Yogyakarta memiliki peluang besar untuk menjadi pusat transformasi pariwisata nasional. “Yogyakarta bukan hanya punya alam dan budaya. Kita punya energi, karakter, dan makna yang hidup dalam keseharian masyarakat. Tantangan kita adalah bagaimana mengemas semua itu dengan narasi yang menyentuh dan strategi manajemen yang tepat,” ujar:Agus:21/07/2025
Agus juga menekankan pentingnya menyelaraskan antara nilai budaya lokal dan kebutuhan wisatawan modern. “Pariwisata hari ini harus bergerak dari sekadar atraksi menjadi pengalaman yang menggugah. Kita tidak sedang menjual tempat, tetapi mempertemukan manusia dengan dirinya sendiri lewat ruang dan cerita yang hidup,” tambahnya.
DIY, khususnya Yogyakarta, memiliki seluruh elemen untuk menjadi pelopor paradigma baru ini. Energi spiritual dari tradisi dan ritus lokal, karakter budaya yang kuat dan hidup, serta narasi kehidupan masyarakat desa yang menyentuh dan otentik, menjadi fondasi yang tak ternilai. Tantangannya kini adalah bagaimana seluruh potensi tersebut dikemas dalam strategi manajemen yang terstruktur, berdampak, dan berkelanjutan.
Dengan semangat kolaboratif antar-pemangku kepentingan, transformasi pengelolaan destinasi berbasis manajemen bisnis dan pemasaran modern ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kunjungan wisata, tapi juga meningkatkan nilai ekonomi, kualitas relasi sosial, dan keharmonisan ekologis.
Lebih jauh dari itu, kegiatan ini menjadi refleksi bahwa pariwisata bukan hanya soal “ke mana” seseorang pergi, tetapi “untuk apa” ia melakukan perjalanan. Sebuah ajakan untuk menjadikan setiap destinasi sebagai ruang pembelajaran, pemulihan, dan perjumpaan makna hidup.Tutup:Agus