Kemon.id, Gunungkidul – Dalam sebuah gathering bertajuk “Mindful Tourism” yang digelar di De Mangol View, Patuk, Gunungkidul, para pelaku pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta diajak untuk merenungkan kembali arah perkembangan pariwisata. Bukan sekadar soal destinasi, tapi tentang bagaimana perjalanan dapat menjadi sarana kesadaran diri, budaya, dan lingkungan.
Sekretaris Jenderal DPD PUTRI DIY, Agus Budi Rachman, menggarisbawahi bahwa Yogyakarta bukan hanya tempat untuk dikunjungi, melainkan ruang batin yang sarat filosofi.
“Kita tidak sekadar membangun pariwisata, tapi menghidupi kesadaran dalam setiap langkah perjalanan. Inilah laku mindful tourism,” ujar Agus.
Menurutnya, mindful tourism bukan sekadar tren global, tapi sejalan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Yogyakarta, seperti hamemayu hayuning bawana (memelihara keindahan dunia) dan eling lan waspada (selalu sadar dan waspada).
“Pariwisata yang berakar adalah yang tak tercerabut dari jati diri budaya dan lingkungan. Ia hadir bukan untuk mengeksploitasi, tapi untuk merawat dan menyembuhkan,” imbuh Agus.
De Mangol View: Destinasi Edukatif yang Ramah Anak
Dalam forum yang sama, CEO De Mangol View, Redita Aliyah Utama, memperkenalkan inovasi Edu-Wisata & Event Experience—konsep wisata edukatif yang dirancang khusus untuk anak-anak dan keluarga.
“Kami ingin anak-anak menyentuh langsung apa yang mereka pelajari. Lewat ecoprint, mereka belajar mengenali daun dan menjadikannya karya seni. Itu membangun koneksi emosional dengan alam,” jelas Redita.
Tak hanya itu, program Herbal Hero mengajak anak-anak menanam dan merawat tanaman herbal sambil memahami manfaat kesehatannya. “Ini bentuk mindfulness bagi anak—belajar hidup sehat dan menyatu dengan alam sejak dini,” tambahnya.
De Mangol View juga menyediakan pengalaman glamping, menyajikan menu khas seperti sop buntut rempah organik, dan kopi arang dari pohon karet dengan cita rasa karamel yang khas.
Perjalanan yang Menyembuhkan, Bukan Sekadar Tujuan
Baik Agus maupun Redita menegaskan bahwa masa depan pariwisata tidak lagi diukur dari jumlah pengunjung, tetapi dari kedalaman pengalaman dan kesadaran yang dihadirkan.
“Kalau kita hadir dengan penuh kesadaran, maka perjalanan bukan lagi soal ke mana, tapi bagaimana kita menghayati setiap langkah,” tegas Agus.
Labirin di kawasan De Mangol menjadi simbol perjalanan hidup: berliku namun menuju pusat. Itulah makna dari mindful tourism—menemukan kembali jati diri melalui interaksi yang utuh dengan tempat, budaya, dan sesama.
Melalui konsep mindful tourism, Yogyakarta dan Gunungkidul tengah menata ulang peta pariwisatanya. Bukan hanya sebagai ruang konsumsi, tetapi ruang kontemplasi, edukasi, dan kolaborasi yang menyembuhkan.
Artikel ini telah ditayangkan di Kilasinformasi.com dengan judul : Mindful Tourism di Yogyakarta: Merawat Diri, Budaya, dan Alam dalam Setiap Perjalanan